TBC (Tuberkulosis), siapakah yang mau menderita penyakit itu?
Tentu tidak ada seorangpun yang menginginkannya, termasuk aku (waktu itu) ataupun para penderita yang lainnya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa TBC atau biasa disebut juga dengan TB, adalah penyebab kematian kedua di Indonesia setelah stroke. Bahkan di dunia, Indonesia termasuk negara ke-4 terbesar yang warganya menderita TBC setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Diperkirakan ada 430.000 penderita TB baru dan 169 orang di antaranya meninggal setiap hari (Abd, 2012).
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dapat menyerang beberapa bagian organ tubuh, misalnya paru, tulang, sendi, usus, saluran kemih, dan lain-lain. Namun, TB yang paling sering dibicarakan adalah TB paru. Perbedaan antara TB paru dan TB tulang yang saya dengar dari kenalan saya adalah TB paru memiliki potensi untuk kambuh lagi, sedangkan TB tulang tidak.
TB bukanlah penyakit baru, bahkan tokoh "Maria" yang saya sukai dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana pun meninggal karena penyakit TBC. Padahal novel tersebut merupakan sastra di sekitar tahun 1930-an. Hanya saja, pengobatan TB sekarang lebih baik dibandingkan dengan jaman itu karena pada jaman itu, penderita TB akan diasingkan di sanatorium. Hal ini dikarenakan TB dapat menular akibat bakteri yang dapat tersalurkan melalui udara ataupun peralatan makan minum yang digunakan bersama. Mengenai hal ini, akan ada ulasa yang harus kalian baca di akhir. Jadi, jangan stop membaca di sini.
Di sini aku akan memaparkan hal-hal terkait TBC yang aku tahu dari yang aku alami. Aku baru tahu bahwa aku menderita TB Paru pada bulan Maret 2010. Sebelumnya aku tidak mengetahuinya, karena sebenarnya aku batuk-batuk sejak bulan Desember. Aku pikir itu biasa saja karena aku memang sering batuk, setidaknya 2 minggu dalam setahun saat musim penghujan. Pada bulan Januari, saat batuk, aku merasa sesak di bagian perut yang menjalar ke dada, seperti perut yang tertarik ke bagian atas. Pada saat mengikuti kegiatan mahasiswa di Surabaya, trainer-ku yang kebetulan mahasiswa kedokteran UnAir menyarankan aku untuk memeriksakan diri ke dokter, sambil memberikan vitamin selama aku mengikuti training. Awalnya, dokter yang memeriksaku memberikan obat batuk biasa karena katanya paru-paruku infeksi akibat batuk yang terlalu lama tidak diobati. Namun, setelah satu bulan lewat, aku bukannya sembuh, melainkan batukku semakin parah. Akhirnya, aku periksa ke dokter di Bogor. Awalnya, dokter memberikan obat batuk biasa dan multivitamin untuk 3 hari-1 minggu. Awalnya, diagnosis awal dokter, kalau tidak TB Paru, bisa jadi kanker paru. Namun, melihat usiaku, sepertinya TBC. Akhirnya aku menjalani rontgen dan tes laboratorium. Hasilnya menunjukkan bahwa aku positif menderita TBC.
Mengetahui aku positif TBC membuatku terpuruk saat itu, karena aku berpikir bahwa itu merupakan kondisi yang menakutkan. Aku masih bertahan dengan kondisiku untuk kuliah, tetapi kelamaan aku tidak sanggup menerima efek psikologis dari penyakit itu. Kondisi batukku yang sangat parah kurasa mengganggu dosen yang sedang menerangkan bahan kuliah di depan dari cara pandangnya padaku. Selain itu, salah satu teman dekatku melihatku dengan tatapan yang sangat menunjukkan keprihatinan. Itu membuatku merasa sangat bersalah karena membuatnya mencemaskanku dan dia tidak konsentrasi dengan kuliahnya. Selain itu, aku merasa aku tidak bisa berkonsentrasi mendengarkan penjelasan dosen sepanjang kuliah. Terlebih, saat aku diperhadapkan dengan aturan tidak boleh minum selama perkuliahan, padahal aku butuh air minum saat aku batuk. Membawa obatku dan meminumnya di kantin kampus sungguh membuatku malas, terlebih lima jenis obat yang harus aku minum. Beberapa teman dekatku menunjukkan perubahan sikap padaku, terkesan agak menjauh atau agak aneh, walaupun tidak semuanya. Aku tahu itu hal yang wajar, bahkan mungkin akan aku lakukan jika aku di posisinya waktu itu karena takut tertular. Yah, alasan yang logis bukan? Tapi, bagaimanapun, itu menyakitkan hati. Ingin sekali aku berkata, "Teman, aku masih manusia. Aku tahu kalian takut tertular, tapi... aku sendiri tidak menginginkan penyakit ini, sungguh! Bagaimana perasaan kalian kalau kalian menjadi aku? Tidak bisakah kalian bersikap seperti biasanya padaku?" Ya, itulah yang ingin kukatakan saat itu. Hal itu mengganggu pikiranku sehingga sakitku menjadi semakin parah. Terlebih, aku takut kalau penyakitku ini menular pada teman sekamarku. Pembimbingku menyarankan aku untuk pindah kos. Tapi aku tahu bahwa tidak semudah menjentikkan jari untuk mendapatkan kos baru yang bersih dan sehat. Polusi di udara Bogor pun turut memperparah kondisiku dengan banyaknya asap kendaraan di jalanan. Aku pun seorang aktivis salah satu UKM yang aku rela hingga larut malam atau dini hari mengikuti rapat. Aku senang melakukannya. Untuk berdiam di kos dan tidak datang ke UKM tersebut benar-benar menyiksaku. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil cuti.
Bagian awal cuti adalah kondisi terparah dalam kehidupanku, seperti hidup segan, mati tak mau. Aku menghabiskan hari-hariku hanya dengan makan, tidur, dan mandi selama 2 bulan pertama aku di rumah. Aku benar-benar merasa waktu itu aku tidak "hidup". Udara sehat dan segar di sana membuat kondisiku lebih baik. Batukku tidak separah biasanya. Oh ya, waktu aku di Bogor, aku sempat sekali batuk berdarah. Setidaknya, selama di rumah, hal itu tidak pernah terjadi lagi. Berikutnya, aku mulai pulih dan tidak merasa lelah. Aku ingin memiliki kegiatan. Ya, aku senang karena teman-temanku di sana bersikap biasa dan tidak menunjukkan sikap menghindar. Itu menyenangkan. Aku mulai ikut latihan menari, ikut membantu di toko pakaian, dan bersih-bersih rumah dimulai dari kamarku, kamar kakakku, ruang tamu, kamar ortuku, dan toko baju. Ayahku selalu mengingatkanku untuk memakai masker. Kesehatanku semakin membaik dan akhirnya aku bisa kembali ke kuliahku di bulan September.
Saat aku kembali ke kampus bulan September, beratku sudah meningkat. Aku sudah menjalani pengobatan 6 bulan (tepatnya 8 bulan, dengan transisi), tetapi ternyata hasil rontgen menunjukkan masih ada noda TBC meskipun jauh lebih sedikit. Sebelumnya, kedua paruku terkena TBC. Rontgen berikutnya menunjukkan paru-paru kananku bersih, tetapi paru-paru kiriku belum. Aku mendapat tambahan perawatan 3 bulan. Setelah itu, aku mengucapkan selamat tinggal pada obat-obat itu dan kembali mengikuti kegiatan kampus dengan intensif. Setelah sekitar 2 bulan, aku mulai batuk lagi dan dada kiri serta tulang di punggung kiriku terasa sakit. Aku periksa lagi ke dokter dan ternyata TB ku yang belum lama hilang kembali muncul. Aku harus mengikuti pengobatan selama 6 bulan lagi. Aku ingat kakak kelasku mengingatkanku untuk rutin meminum madu untuk meningkatkan kekebalan tubuhku. Akhirnya, setelah itu aku dinyatakan benar-benar sembuh tanggal 31 Desember 2011. Benar-benar kondisi yang lama dengan obat-obat untuk membunuh Mycobacterium sp. itu. Akhirnya, aku sembuh dan mengalami peningkatan berat badan hingga 9,5 kg dari kondisi sakitku. Hal ini dikarenakan penyakit TB membuat penderitanya kehilangan berat badan secara signifikan. Untuk sembuh, selain mengkonsumsi obat dan multivitamin, diperlukan makan yang banyak, terutama kandungan protein. Dokter menyarankanku makan nasi 3-4 piring, susu beberapa gelas, dan telur beberapa butir selama pengobatan. Telur dapat diganti dengan makanan lain, seperti daging (sate, bakso) atau ikan serta ayam.
Sekarang aku sudah dapat lepas dari obat-obat itu, tapi satu hal yang aku tahu, pada rontgen thorax-ku, akan tetap ditemukan suatu noda di paru-paru kiriku karena itu adalah bekas paru-paru saat aku mengeluarkan darah pada waktu batuk. Dokter bilang akan sulit bagiku mendapatkan pekerjaan di bidangku, yaitu teknologi industri pertanian, dengan kondisiku yang pernah TB. Tapi, who knows our future? Just God, and He can change impossible thing to be possible.
Kesimpulan dari pengalamanku (maaf kalau tidak tepat 100%) adalah sebagai berikut.
Ciri-ciri penderita TB paru:
-batuk lebih dari 1 bulan, bunyi batuk cukup nyaring
-batuk tanpa dahak, tetapi mengeluarkan cairan encer agak putih atau batuk berdarah
-batuk dengan sakit di bagian perut hingga dada
-mudah merasa lelah
-sesak napas saat jalan di tempat menanjak
-sakit di bagian tulang belakang paru-paru
-berat tubuh menurun drastis
-hasil rontgen dan/atau tes dahak menunjukkan hasil positif TB
Pengobatan yang dapat dilakukan:
-pengobatan min 6 bulan
-minum obat sesuai dosis dan waktu
-mengurangi kegiatan yang berat
-menghindari angin dingin saat malam
-minum madu dan makan buah-buahan
-banyak makan (min 3 piring nasi sehari + bahan makanan protein + susu), tapi untuk susu harus jauh dari waktu minum obat
-hindari air dingin, air es, atau jenis es yang lain
Anjuran bagi penderita:
-tetap berpikir positif, tidak usah seperti aku yang lemah waktu itu, dan tidak usah berpikir yang tidak-tidak, intinya kamu pasti sembuh!
-tetap ceria
-tetap melakukan kegiatan, hanya saja intensitasnya ringan
-cukup istirahat
-terus berdoa
-lakukan tindakan pengobatan
-memakai masker
-tidak memakai barang untuk makan dan/atau minum bersama dengan orang lain
-tidak keluar rumah malam-malam
Anjuran bagi orang-orang di sekitar penderita (terutama keluarga dan teman dekat):
-tidak perlu menunjukkan keprihatinan yang berlebihan (itu membuat penderita tidak nyaman)
-tidak memakai barang untuk makan dan/atau minum bersama dengan penderita
-tidak perlu menjauh atau menunjukkan takut tertular (itu menyakiti hati penderita)
-tetap menjaga kesehatan tubuh (orang tidak akan tertular TBC meskipun di dekat penderita, asalkan kekebalan tubuhnya tinggi dan baik)
-membantu mengingatkan penderita untuk meminum obat teratur dan makan
-bersikap seperti biasa
-menghibur, menguatkan, dan memberikan bahumu saat penderita menangis atau merasa takut dengan kondisinya
-tetap mengasihi penderita karena penderita membutuhkan kasih sayangmu, bukan rasa kasihanmu.
Semoga sharing ini bermanfaat!
Sumber tinjauan awal :