Selasa, Januari 03, 2012

Poci Teh yang Sempurna (Messner dalam A Gift of Miracles, 2003) ed 2

........

Aku membawa kartu-kartu itu ke sekolah dalam sebuah dompet vinil merah. Dan setiap kali para guru berkata bahwa aku tidak cukup pandai untuk berkuliah, aku akan mengeluarkannya dan merenungkan ayat itu. Aku percaya akan kebenaran dari ayat tersebut, bahkan jika para guru itu tetap berkata,"Dengan banyaknya kelas yang tidak kau hadiri, Roberta, kau tidak akan sanggup mengejar ketertinggalanmu." Aku tidak yakin jika mereka memang bermaksud kasar. Mungkin mereka pikir akan lebih bijaksana jika aku tidak terlalu bermimpi karena aku menderita neurofibromatosis, suatu kelainan syaraf yang serius.

"Rupanya kau, Roberta sayang, masuklah kemari." Suara Ny. Withers dipenuhi kegembiraan. "Aku sedang membutuhkan seribu satu macam barang. dan aku senang sekali karena kau bersedia untuk mampir menjengukku."

Waktu itu, dengan sangat berhati-hati aku duduk di sebuah sofa yang putih bersih lalu membuka risleting tas wolku, yang dipenuhi dengan berbagai sampel kosmetik seharga lima dollar. Ketika aku menyerahkan selembar brosur penjualan pada Ny.Withers, tatapan matanya membuatku nyaman. Tiba-tiba saja aku merasa bagai menjadi seorang gadis yang paling penting di dunia ini.

"Ny.Withers, kami memiliki dua jenis krim, yang satu untuk jenis kulit normal kemerahan sedangkan yang lainnya untuk  jenis kulit pucat kekuningan," paparku dengan penuh percaya diri. "Dan kedua krim ini juga sangat baik untuk menghilangkan kerutan-kerutan di kulit."

"Oh, bagus, bagus," ucapnya penuh kehangatan.

"Krim mana yang Anda ingin coba?" tanyaku sambil merapikan wig yang menutupi botak di kepalaku, sebagai efek dari proses pembedahan.

"Oh, tentu saja aku membutuhkan masing-masing satu," jawabnya. "Dan parfum macam apakah yang kau punya?"

"Ini, cobalah parfum yang satu ini, Ny.Withers. Mereka menyarankan agar Anda menggunakannya tepat pada titik-titik nadi untuk hasil yang terbaik," kataku memberi petunjuk, sambil menunjuk pada pergelangan tangannya yang dihiasi degan gelang emas bertatahkan berlian.

"Ah, Roberta, kau rupanya sangat menguasai seluk-beluk semua ini. Pasti kau telah mempelajarinya selama bertahun-tahun. Kau adalah wanita muda yang sangat cerdas dan menyenangkan."
"Begitukah, Ny.Withers?"
"Oh, aku sangat yakin tentang itu. Dan apa rencanamu pada uang tabungan hasil penjualan kosmetik ini?"

"Saya sedang menabung untuk bisa berkuliah-eh- saya ingin menjadi seorang perawat," jawabku, sembari merasa kaget oleh ucapanku sendiri. "Tetapi hari ini saya berencana untuk membelikan ibu saya sebuah sweater sebagai hadiah ulang tahunnya. Ibu selalu menemani saya selama menjalani perawatan medis, dan jika kami bepergian dengan kereta api, maka sweater yang istimewa akan menjadi hadiah yang bagus untuk ibu saya."

"Hebat, Roberta, dan kau juga penuh perhatian. Kalau begitu, apa yang kau punya dalam daftar paket bingkisan kosmetik?" tanyanya, lalu memesan masing-masing dua buah dari setiap jenis paket yang aku sarankan.

Sewaktu menjumlahkan nilai pesanan yang luar biasa banyaknya itu, aku terhenyak saat melihat bahwa nilai totalnya adalah $117,42. Sungguhkah ia bermaksud untuk memesan sedemikian banyak? tanyaku dalam hati. Apakah ia akan membatalkan sebagian pesanannya? Tetapi ia hanya tersenyum dan berkata,"Saya akan menunggu pengiriman pesanan itu, Roberta. Hari Selasa depan, bukan?"

Aku sedang bersiap untuk pergi saat Ny.Withers berkata,"Kau kelihatan sangat lapar. Aku yakin kau lelah setelah berjalan kaki sepanjang siang ini. Maukah kau untuk terlebih dulu minum teh sebelum pergi? Di rumah kami ini, kami menganggap teh sebagai "Sinar Matahari Cair."

Aku menganggukkan kepala dengan bersemangat, lalu mengikuti Ny.Withers ke dapur antiknya, yang dipenuhi dengan segala barang antik yang menimbulkan keingintahuan. Aku memperhatikan, dengan terpesona, selagi ia mempersiapkan acara minum teh resmi, yang hanya pernah aku saksikan di televisi - hanya untuk diriku. Dengan hati-hati, ia mengisi ketel teh dengan air dingin, "sepenuhnya" mendidihkannya, lalu memasukkkan lembar-lembar daun teh dan mendiamkannya selama "tepat" lima menit. "Dengan begitu, bunga citarasa teh ini akan mulai bersemi," kelasnya. Kemudian ia menyusun nampan perak yang berkilauan dengan satu set perlengkapan minum teh dari keramik halus, selembar kain alas yang indah, sepiring biskuit arbei yang menggugah selera, dan beberapa perlengkapan mungil lainnya. Di rumah, kami memang biasa minum teh dengan gelas plastik, tetapi aku bukanlah seorang puteri yang gemar akan ritual minum teh siang yang rumit.

"Kalau boleh saya ingin bertanya, Ny. Withers. Bukankah ada cara yang lebih praktis untuk menyajikan teh?" tanyaku. "Di rumah, kami menggunakan teh celup."

Ny. Withers lalu menggenggam kedua tanganku. "Ada sejumlah hal dalam hidup ini yang tidak bisa dipersingkat prosesnya," jelasnya. "Aku telah mempelajari bahwa penyajian sepoci teh yang tepat adalah sama dengan menjalani kehidupan dengan cara yang menyenangkan Tuhan. Memang dibutuhkan kerja ekstra, tetapi hasilnya selalu sebanding. Contohnya adalah kau dengan masalah kesehatanmu. Mengapa? Karena kau selalu asyik dengan kebulatan tekad dan ambisi, seperti halnya dengan sepoci teh yang sempurna. Banyak orang yang jika berada di posisimu akan menyerah, tetapi tidak demikian halnya denganmu. Dan dengan pertolongan Tuhan, kau akan dapat meraih segala hal yang kau cita-citakan, Roberta."

Tiba-tiba bayang-bayang kenangan masa lalu itu lenyap saat si wanita dalam loteng yang panas dan lembab itu bertanya, "Anda juga mengenal Hilary Withers?"

to be continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar