Selasa, Januari 03, 2012

Poci Teh yang Sempurna (Messner dalam A Gift of Miracles, 2003) ed 3

...................

Aku menghapus keringat yang membasahi kening. "Ya. Aku pernah menjual kosmetik-kosmetik ini padanya. Tetapi aku tidak mengerti kenapa ia tidak menggunakannya sendiri atau memberikannya pada orang lain."

"Ia justru sering memberikannya pada orang lain," jawab wanita itu dengan lugas. "Tetapi entah mengapa, beberapa barang itu lalu hilang dan ditemukan di atas sini."

"Tetapi kenapa ia membeli semua ini jika tidak digunakannya sendiri?" tanyaku.

"Oh, ia memang membeli semua kosmetik ini untuk digunakannya sendiri," kata si wanita dengan nada yakin. "Hilary mempunyai titik lemah dalam hatinya jika menghadapi para sales keliling. Ia tidak pernah mengusir mereka. Ia tahu bahwa mereka kerap mengalami kesusahan dengan sedemikian banyaknya pintu yang dibanting di muka mereka. Ia biasa berkata padaku,' Aku bisa saja memberi mereka uang, tetapi uang saja tidak akan bisa menumbuhkan harga diri. Maka itu aku memberi mereka sedikit uang dengan membeli produk-produk yang mereka jual, telinga yang siap mendengarkan, dan cinta serta doa-doaku. Kau tak akan bisa membayangkan bagaimana suatu dorongan kecil ternyata sanggup membangkitkan semangat seseorang."

Aku terkenang akan hasil penjualan kosmetikku yang langsung meroket setelah kunjungan pertamaku pada Ny.Withers. Kemudian aku membeli sebuah sweater baru untuk ibuku dengan uang komisi yang diterima dari hasil penjualan kosmetik pada Ny. Withers, ditambah lagi, aku masih mempunyai cukup uang untuk biaya kuliah. Aku bahkan memenangkan sejumlah penghargaan lokal dan nasional dalam bidang penjualan kosmetik. Akhirnya aku mampu membayar kuliah dengan uang tabunganku sendiri dan meraih cita-citaku untuk menjadi seorang perawat. Di kemudian hari, aku juga meraih gelar Master dan Ph.D.

"Ny. Withers berdoa untuk semua orang ini?" tanyaku, sambil menunjuk pada lusinan tas pengiriman pesanan yang telah usang di meja. Aku merasakan tenggorokanku kian tercekat.

"Ya," katanya meyakinkan."Dan ia melakukan semua itu tanpa ingin diketahui orang sedikitpun. Begitulah Hilary. Ia selalu mencari cara untuk melayani tanpa banyak bicara, dan menyerahkan hasilnya ke tangan Tuhan. Bagi Hilary, ini merupakan investasi rahasia yang sama amannya dengan rekening bank."

Di kasir, aku membayar sejumlah pembelian - sekantung kosmetik yang dulu aku jual pada Ny. Withers dan sebuah liontin emas berbentuk hati. Lalu, di dalam mobil, aku memasang liontin tersebut pada kalung emas yang aku kenakan di leher. Setelah itu, aku berangkat menuju bandara untuk menghadiri konvensi kesehatan di New York siang itu.

Setibanya aku di ruang konvensi hotel yang mewah itu, aku langsung menuju ke podium pembicara dan memperhatikan lautan wajah yang hadir - para spesialis perawatan medis dari segenap penjuru negeri. Tiba-tiba aku merasa segamang di waktu lalu ketika berusaha menawarkan kosmetik di lingkungan elit yang masih asing bagiku. Apakah aku mampu melakukannya? tanyaku dalam hati.
Lalu dengan jari-jari yang gemetar, aku meraih liontin emas yang tergantung di leher. Liontin itu terbuka, menampakkan potret Ny. Withers di dalamnya. Kedua matanya tampak menatap langsung mataku, dan di antara rentang waktu yang sangat panjang, suaranya yang lembut dan sipatik terdengar lagi di telinga, "Dengan pertolongan Tuhan, kau akan dapat meraih segala hal yang kau cita-citakan, Roberta."

"Selamat siang," aku mengawali dengan perlahan, "saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk berbicara mengenai 'Mengembalikan Arti PERAWATAN dalam Hal Perawatan Kesehatan.' Ada sebuah ungkapan klise yang kerap ditekankan dan sepenuhnya tepat dalam profesi saya, bahwa 'Keperawatan adalah cinta yang dibuat nyata'. Akan tetapi, pagi ini saya mempelajari suatu prinsip yang tidak terduga tentang kekuatan cinta yang diungkapkan secara rahasia tanpa banyak bicara. Suatu jenis cinta yang diungkapkan bukan untuk dipamerkan, namun untuk membangkitkan segala kebaikan dalam hidup orang lain. Saya melihat bahwa tindakan cinta yang paling penting tampaknya malah tidak menjadi sumber kepedulian kita - yakni saat dimana kita tenggelam dalam keasyikan - adalah saat dimana bunga citarasa mulai bersemi."

Lalu aku menceritakan pada mereka mengenai kisah perubahan hidupku selama bersama Hilary Withers. Dan dengan terkejut, aku mendengar gemuruh suara tepuk tangan yang menyambut kisah itu. Diam-diam aku berdoa, terima kasih Tuhan dan terima kasih pula, Ny. Withers, sambil merenungkan betapa ini semua dimulai dari sepoci teh sekian tahun silam.

Para staf hotel berlarian untuk mempersiapkan berpoci-poci teh dan juga baki-baki dipenuhi croissant mewah. Sang moderator konferensi melihat jam tangannya. "Kelihatannya, sudah waktunya menikmati jeda istirahat minum teh siang," katanya sambil tersenyum lebar.

Ya, memang demikian, pikirku, untuk mengantisipasi saat-saat kebersamaan yang terbentang di depan kita, mungkin sepoci teh dapat mengerjakan banyak keajaiban cinta. 

shared by : ROBERTA L. MESSNER, R.N., Ph.D. (Huntington, West Virginia)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar